Sebuah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan dengan kesempatan untuk menuntut ilmu di negeri Kinanah ini, khususnya di kampus Al Azhar. Banyak sekali hal yang aku pelajari sekalipun dari hal yang sederhana. Bagiku, Al Azhar berhasil menempati ruang khusus di relung hati.
Kali ini aku ingin berbagi sedikit pengalaman tentang ujian semester yang sedang aku jalani.
Ujian Al Azhar selalu menjadi hal yang menegangkan bagi setiap mahasiswanya. Dan itulah mengapa beberapa orang menganggap bahwa ujian disini bukan sekadar ujian biasa, tetapi rasanya seperti ujian di atas ujian, karena selain menguji kemampuan akademik, juga menguji keyakinan dan ketergantungan kita kepada Allah.
Setelah merasakan langsung, menurutku memang benar adanya. Karena ujian disini tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri, apalagi jika hanya bergantung pada belajar. Itu sama sekali tidak cukup. Sebagaimana ujian hidup yang lain, kita pun tidak bisa jika hanya mengandalkan diri sendiri tanpa melibatkan Allah dalam kehidupan.
Secara tidak langsung, ujian ini mengajarkanku betapa pentingnya memohon taufik dan pertolongan Allah dalam setiap keadaan. Dari cerita yang pernah ku dengar misalnya, ada orang yang merasa tidak sempurna dalam mengerjakan soal ujian, namun saat melihat hasilnya, ternyata justru memuaskan. Sebaliknya, ada juga yang merasa bisa mengerjakan, namun hasilnya kurang memuaskan. Di sinilah aku merasa keyakinan kita kepada Allah pun diuji. Dan sekuat apapun usaha yang sudah diupayakan, tetap tidak ada yang bisa menebak hasilnya.
Teringat perkataan salah satu senior, ada tiga hal yang harus kita perbaiki, yaitu: habluminallah (hubungan kita dengan Allah), habluminannas (hubungan kita dengan sesama manusia), dan hablu ma'a muqoror (hubungan kita dengan diktat), alias keseriusan dalam belajar. Ketiga hal ini bukan berlaku pada saat mau ujian saja, tapi pada ujian hidup yang lain juga hendaknya kita selalu memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Menurutku, inilah yang membuat terasa istimewa. Aku sangat bersyukur karena ujian ini juga seolah mengajak untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT, serta memperbesar keyakinan kepada-Nya.
...
Di hari pertama ujian semester 3 ini, air mataku terjatuh seketika sesaat sebelum kertas soal dan jawaban dibagikan. Dengan penuh kepasrahan, aku terus memohon pertolongan-Nya, karena tanpa petunjuk dari-Nya, aku tidak bisa apa-apa. Saat itu juga, aku semakin menyadari bahwa aku hanyalah seorang hamba yang lemah dan tak berdaya. Aku terus berdoa supaya Allah menenangkan hatiku, dan menghilangkan ketakutanku terutama saat mengerjakan soal ujian.
Selepas ujian biasanya aku selalu mengecek jawaban, namun saran dari beberapa teman, sebaiknya jangan langsung mengecek sebagai upaya untuk menjaga optimis dan mengurangi overthingking. Dari sini juga aku belajar untuk lebih tawakal secara penuh dan tidak setengah-setengah.
...
Salah satu momen haru terjadi pada hari keempat ujian. Saat ujian hampir dimulai, pengawas meminta kami untuk mengumpulkan buku dan tas ke depan ruang kelas serta mematikan perangkat elektronik dan memasukkannya ke dalam tas.
Di ruanganku, terdapat kurang lebih lima orang pengawas. Dan salah satunya berhasil membuat hatiku tersentuh.
Saat kami masih sibuk membaca lembaran buku sambil bersiap mengumpulkan tas, beliau mendekat dan menyeru tepat di samping telingaku, "Kholas ya banaat, ista'ini Billah, ista'ini Billah" (yang artinya "Sudah, wahai anak-anakku, mohonlah pertolongan Allah, mohon pertolongan Allah") secara berulang. Seketika, aku tersenyum paksa menahan air mata, seraya bergumam, "Ya Allah, di mana lagi aku bisa merasakan hal seperti ini, yang mana pada setiap waktunya selalu ada yang mendorongku untuk terus mengingat-Mu... Ya Allah, terimakasih atas kesempatan berharga ini."
Entah bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa syukur ini, karena betapa banyak hal sederhana yang mengguncang perasaan, yang membuatku selalu merasa malu atas nikmat-nikmat yang Allah berikan.
...
Saat perjalanan pulang, aku dan temanku, Farah, membicarakan suatu hal. Kuceritakan apa yang aku alami di ruang ujian.
"Far, tadi di ruangan ujian... bla bla bla... (aku ceritakan hal di atas) Tau nggak sih, Far? Karena kejadian itu, aku jadi keinget, dulu aku pernah berdo'a entah kapan aku lupa. Dulu, aku sering banget kesal sama orang yang suka nyontek waktu ujian. Terus aku tuh pernah minta ke Allah, " Ya Allah, aku pengen banget ngerasain lingkungan ujian yang jujur, entah dimanapun itu, yang nggak ada kesempatan buat nyontek, dan sebagainya. Dan kayaknya, ya Far, Allah bawa aku kesini juga salah satunya mungkin jawaban dari doa waktu itu." ucapku.
Aku nggak menyangka kalau Farah pun akan menceritakan kisah yang sama. "Asli Zan, aku juga dulu sama kaya gitu. Emang ya, Zan, Allah tuh nggak pernah lupa sama doa hamba-Nya, padahal kitanya mungkin lupa, tapi Allah nggak pernah lupa. Dulu juga aku pernah berdoa pengen hidup di lingkungan Islam yang menerapkan Islam dalam kesehariannya. Itulah, Zan, makanya kita tuh harus banyak doa yang baik-baik," jawab Farah. Pembicaraan kami pun terhenti karena kami harus naik tremco (angkot) yang berbeda sebab tujuan pulang yang berbeda juga.
Pengalaman-pengalaman sederhana seperti ini, mengajarkanku bagaimana untuk lebih memaknai hidup dan mengambil setiap hikmah yang terkandung.
Mungkin sedikit cerita ini terasa biasa saja bagi sebagian orang. Tapi tulisan ini aku tulis untuk mengabadikan hikmah yang pernah kudapat dalam perjalanan mencari makna hidup ini. Dan tentu saja, tulisan ini menjadi pengingat untuk diriku sendiri di kemudian hari. Semoga sedikitnya ada manfaat yang bisa diambil. Mohon doanya juga untuk kelancaran dan kesuksesan ujian kami di sini, semoga Allah selalu memberikan taufik, kemudahan, nilai yang baik, serta menjadikan ilmu yang kami peroleh dapat bermanfaat, khususnya untuk diri sendiri dan orang sekitar. Aamiin.
Komentar